Suwardi Haseng, Kepemimpinan Dalam Senyap

  • Bagikan

Oleh DR. H. Nurmal Idrus, MM

Direktur Pascasarjana Universitas Lamappapoleonro, Soppeng

Diam di waktu yang tepat lebih baik daripada seribu kata-kata di waktu tak tepat. Adagium ini seringkali disampaikan oleh banyak filsuf dunia untuk menggambarkan kekuatan sebuah sikap diam.

Bagi seorang pemimpin, sikap diam kadangkala memang menjadi kunci. Terlalu banyak bicara dan berkomentar, bisa membuatnya melakukan kesalahan yang berdampak luas pada publik dan rakyat yang dipimpinnya. Tetapi, di saat yang tepat seorang pemimpin juga wajib bersuara agar warganya bisa memahami dan meyakini kepemimpinannya.

Bupati Soppeng, Suwardi Haseng, adalah tipikal pemimpin daerah yang jarang bersuara. Dalam dua bulan kepemimpinannya, Suwardi Haseng lebih banyak diam. Ia jarang berkomentar dan minim intensitas kehadiran di acara seremonial.

Namun, Suwardi bergerak senyap. Kebijakannya tak terlihat tetapi terasa. Dalam mendukung program serapan gabah nasional, Suwardi secara frontal menekan Bulog Soppeng untuk menyerap tanpa syarat semua produksi gabah petani Soppeng.

Ia juga belakangan diketahui mengusulkan anggaran pembangunan dan perbaikan irigasi pertanian berjumlah puluhan miliar. Suwardi membawa proposal itu ke Kementerian PU di saat pemerintah pusat justru melakukan pemangkasan anggaran di sektor itu. Langkah itu dilakukan dengan senyap, bahkan sedikit diketahui media. Proposalnya runut dan detail plus sedikit 'ancaman'. Ia menggambarkan Soppeng sebagai urat nadi pangan nasional yang tak boleh diabaikan.

Suwardi memahami teori motivasi kerja dalam ilmu manajemen. Untuk itulah dia langsung memberikan insentif khusus kepada ASN dijajarannya. Pembayaran THR lebih cepat dilakukan disaat daerah lain masih menundanya. Setelah itu, ia mewujudkan janji politiknya untuk menaikkan TPP ASN di Soppeng. Dua kebijakan yang tak populis itu membuat Suwardi dihantam oleh tim terdekatnya, para Tim Sukses. Dia dinilai terlalu cepat memanjakan ASN, kelompok yang dianggap secara mayoritas tak berpihak padanya di Pilkada lalu.

Suwardi bergeming dengan kebijakan itu. Ia memilih mengambil resiko kebijakan yang tak populis itu untuk merebut hati ASN. Merekalah yang akan menjadi motor penggerak semua program kerjanya dan untuk itu para ASN ini harus punya loyalitas yang tinggi. Kesejahteraan yang baik menjadi salah satu kunci dari loyalitas itu.

Dalam ilmu manajemen, jalan kepemimpinan yang dipilih Suwardi ini dikenal sebagai model kepemimpinan senyap atau "quiet leadership". Ini adalah gaya kepemimpinan efektif yang tidak bergantung pada banyak bicara atau menunjukan kekuasaan secara eksplisit.

Pemimpin senyap lebih fokus pada memberi contoh, memberdayakan bawahan, dan mendengarkan dengan baik. Mereka tidak perlu menjadi yang terkeras suaranya, melainkan percaya diri dan kompeten dalam tindakan mereka.

Kepemimpinan model ini berfokus menjadi pendengar yang baik dan aktif, memperhatikan apa yang dikatakan dan tidak dikatakan oleh anggota tim.

Kepemimpinan senyap lebih condong memberi contoh. Mereka memimpin dengan tindakan dan menunjukkan komitmen terhadap tujuan bersama.
Di sisi lain, pemimpin model ini memberdayakan bawahan. Mereka mempercayai bawahan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan mereka.

Ciri paling terlihat dari pemimpin ini adalah tidak banyak bicara. Mereka tidak perlu banyak bicara atau bersikap dominan untuk memimpin. Dalam kepemimpinan diam itu, Suwardi Haseng tetap terlihat
tenang dan percaya diri. Ia memiliki kepercayaan diri yang tenang, tanpa perlu bersikap sok tahu.

Suwardi juga memerankan dengan baik kepempinan senyapnya sebagai pengamat yang terampil. Ketika bertemu dan bersua dengan orang lain, seperti halnya para pejabat di jajaran Pemda Soppeng, Suwardi lebih banyak diamdan memperhatikan bahasa tubuh, energi, dan isyarat emosional dari pejabatnya itu.

Suwardi akan berbeda jika disetarakan dengan sejumlah kepala daerah baru yang begitu 'ribut' di awal kepemimpinannya, seperti Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau kepala daerah tetangganya, Bupati Sidrap Syahruddin Alrif. Kedua kepala daerah ini super aktif di media sosial dan sukses merebut simpati publik.

Tapi, populer di media sosial adalah wilayah popularitas, bukan akseptabilitas. Keributan di media sosial cenderung berlangsung sesaat apalagi ketika dalam perjalanannya tak ada aksi nyata yang diperlihatkannya.

Popularitas sangat tidak awet dan punya potensi besar untuk terjun bebas dalam sebuah model kepemimpinan. Popularitas berbatas oleh karena harus terus disemai terus menerus. Popularitas lahir bukan dari kesukaan tetapi dari pandangan pertama yang instan. Sementara akseptabilitas lahir dari kesukaan yang awet. Jalan yang dipilih Suwardi adalah rute senyap meraih akseptabilitas yang awet.

Kepemimpinannya bersama Selle KS Dalle, menghadapi tantangan awal yang tak kecil. Seperti kepala daerah lain, ia menghadapi adangan refocussing anggaran yang ekstrem. Semoga keduanya terus bisa bekerjasama dengan baik demi meraih kejayaan Kabupaten Soppeng.

  • Bagikan

Exit mobile version