Fenomena Munculnya Buaya Sungai Walanae, Pertanda Banjir?

  • Bagikan

BONE, RADARBONE.FAJAR.CO.ID--Kemunculan buaya sepanjang dua meter dalam sebulan terakhir membuat geger warga yang bermukim di sepanjang aliran sungai Walanae.
Kemunculan buaya pertama, di Desa Kampoti Kecamatan Dua Boccoe.

Buaya tersebut muncul di Dusun 3 Antonge, depan kantor Desa Kampoti, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone Selasa 24 Januari 2023 sekitar pukul 20.30 Wita. Kemunculan buaya itu membuat heboh warga lantaran baru pertama kali terjadi.

"Betul itu, barusan kejadian. Warga ramai berdatangan melihat itu," kata Kepala Desa Kampoti Sakka.

Menurutnya, selama ini buaya tersebut hanya berada di pinggir sungai saja. Namun Sakka tidak tahu pemicunya lantaran sempat kembali naik setelah dievakuasi pertama kali.

Kemudian pada Minggu dinihari, 11 Februari 2023, buaya dengan panjang 2 meter, juga muncul di Desa Solo Kecamatan Dua Boccoe. Buaya tersebut ditangkap warga di wilayah tappareng atau danau yang ada di desa itu.

Tak heran kemunculan buaya ini kemudian diartikan oleh warga sebagai pertanda air sungai akan naik atau banjir. Maklum, sejak kemunculan buaya ini, hujan deras mengguyur Kabupaten Bone sejak dua hari terakhir. Bahkan Senin 13 Februari hari ini, hujan deras yang mengguyur sebagian besar Kabupaten Bone, menyebabkan daerah yang masuk wilayah rawan banjir, kini berstatus siaga 1.

Sebagian besar warga yang bermukim di sepanjang aliran sungai Walannae, memang percaya adanya sang penguasa dibalik keganasan sungai terpanjang di Sulsel itu. Sudah banyak warga yang tenggelam di sungai itu dan beberapa diantaranya di temukan di sekitar segitiga bermuda atau pertemuan tiga arus sungai (Sungai Walannae, Sungai Cenrana, Sungai Watu), tepatnya di Kelurahan Cenrana, atau beberapa meter dari Jembatan Sungai Cenrana.

Sungai Walannae sendiri, berhulu di Pegunungan Bonto Tangui-Bohonglangi di perbatasan Kabupaten Bone dengan Kabupaten Gowa serta Kabupaten Maros. Sungai ini kemudian mengalir sekira 180 Km dari selatan ke utara menuju Aluvial Danau Tempe dan berbelok ke timur hingga bermuara ke Teluk Bone. Nama Walannae diambil dari nama sebuah dusun di Desa Pattuku, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. Namun diwilayah hilir, Sungai Walannae lebih dikenal dengan nama Sungai Cenrana.

Sungai ini, merupakan salah satu urat nadi penggerak perekonomian masyarakat. Sungai ini sering dipergunakan sebagai sarana transportasi antar pulau. Kapal-kapal yang mengangkut kayu olahan dari Sulawesi Tenggara dan Kalimantan sering melalui sungai tersebut. Sebaliknya, hasil-hasil pertanian seperti beras dari tiga kabupaten (Bone, Soppeng dan Wajo), juga diangkut oleh kapal-kapal tersebut untuk dijual ke Kalimantan, Maluku bahkan hingga ke Papua

Keangkeran kedua sungai itu sudah sangat dikenal oleh masyarakat sekitarnya, terlebih bagi warga pendatang yang ingin mempergunakan kedua sungai tersebut. Biasanya orang-orang sekitar sungai sering memperingati apabila ada orang baru yang akan menyebrangi sungai itu.

“Dianjurkan membuang telur. Ini sudah menjadi tradisi masyarakat disini. Karena jika tidak warga menyakini, orang tersebut bisa terkena musibah,” ujar Uttang warga Cenrana yang rumahnya tepat di bibir Sungai Walannae (Sungai Cenrana).

Warga Desa Kampoti, Nurlis mengakui keangkeran dari pertemuan tiga arus sungai itu. Kepada penulis, Nurlis mengaku banyak korban yang ditemukan mengapung tak jauh dari pertemuan tiga arus sungai itu.

Warga disana menyakini Sungai Walannae dan Sungai Cenranae, terdapat kerajaan sungai yang tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tak heran masyarakat sering memberikan penghormatan kepada mereka dengan melakukan ritual ritual tertentu apabila akan melakukan suatu hajatan.

Sungai Walannae juga menyimpan sejuta misteri. Termasuk penunggu dari sungai ini yang masyarakat menyebutnya sebagai Taurisalo. Taurisalo adalah nama lain untuk menyebut buaya, Tao artinya orang, salo berarti sungai. Sehingga Taurisalo adalah orang sungai yang merujuk pada buaya.

Jika Harimau di Sumatera diyakini oleh orang Minang sebagai leluhur, saudara dan pelindung mereka, maka orang Bugis pesisir pun melihat buaya sebagai pelindung mereka untuk beraktivitas di atas air. Mereka yang meyakini memiliki saudara berbentuk buaya akan merasa aman atau tidak meninggal dalam air, karena memiliki saudara yang bisa membantu mereka.

Kisah di atas pada dasarnya memperlihatkan hubungan antara manusia dengan alam. Taurisalo sebagai representasi dari alam memperlihatkan hubungan yang saling menghargai. Buaya atau Taurisalo penghuni sungai atau seringkali disebut “punna wwae” (pemilik air). Buaya juga menjadi penanda akan datangnya banjir atau musibah. Kehadiran buaya dalam jumlah besar yang menampakkan diri berenang dari hulu ke muara sungai Cenrana menjadi penanda akan terjadi banjir yang besar, demikian sebaliknya, jika rombongan buaya dari muara ke hulu sungai sampai danau tempe, pertanda bahwa banjir akan surut.

Bagi orang Bugis pesisir kehadiran buaya telah memberi peringatan, semacam alarm sebelum dan sesudah musibah banjir. Sebagai timbal baliknya, orang-orang Bugis pesisir memiliki tradisi menghargai sungai, seperti membuang telur dalam sungai, upacara memandikan bayi di sungai (mappanoo ana’lolo), dan beragam lagi tradisi kuno yang nyaris tidak kita jumpai lagi sekarang ini.

Salah seorang warga Desa Kampoti, Nurlis mengaku banyak korban tenggelam di Sungai Cenrana, ditemukan tak jauh dari lokasi itu.

“Kalau ada korban tenggelam biasanya mengapung tak jauh dari pertemuan tiga arus sungai itu,” ujarnya kepada penulis.

Warga lainnya, Uttang juga mengakui keangkeran sungai Walannae. Sungai yang kadang menjadi sahabat, dan tak jarang murka dan menelan korban. “Tidak boleh takabur, kalau melintas di Sungai ini,” kuncinya.(*)

  • Bagikan

Exit mobile version