Nenek Ica dan Birokrasi yang Memiskinkan: Suara Kemanusiaan dari Desa Ajallasse

  • Bagikan

Oleh: Irham Ihsan

Ketua Sompung Lolona Cenrana

Kesenjangan sosial selama ini sering dianggap sebagai persoalan khas kota besar. Namun anggapan itu kini terbantahkan. Di sudut-sudut desa terpencil, seperti di Desa Ajallasse, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone, cerita tentang ketidakadilan sosial justru menjadi kenyataan yang menyayat hati.

Salah satu potret paling menyedihkan adalah kehidupan seorang wanita tua bernama Nenek Ica. Selama bertahun-tahun, ia hidup seorang diri di sebuah gubuk reot, tanpa sanak saudara, dan tanpa jaminan hidup yang layak. Yang lebih menyakitkan, selama itu pula ia nyaris tidak tersentuh oleh bantuan pemerintah. Padahal program-program perlindungan sosial kerap digembar-gemborkan sebagai solusi bagi masyarakat miskin dan rentan.

Mengapa Nenek Ica luput dari perhatian? Jawabannya terletak pada rumitnya prosedur administratif yang dijadikan prasyarat mutlak: KTP, Kartu Keluarga, domisili tetap, dan dokumen lainnya. Bagi orang seperti Nenek Ica, yang sehari-hari berjuang sekadar untuk hidup, syarat-syarat tersebut terasa seperti kemewahan yang tak tergapai. Akibatnya, ia terpinggirkan oleh sistem, tak terdata, tak terbantu, dan terus terlupakan.

Hal ini menjadi tamparan keras bagi sistem birokrasi kita. Birokrasi yang semestinya menjadi jembatan antara rakyat dan negara, justru berubah menjadi tembok penghalang. Apakah kemanusiaan harus tunduk pada dokumen? Apakah seorang nenek renta harus membuktikan hak hidupnya hanya karena ia tidak memiliki selembar kartu identitas?

Pemerintah di semua tingkatan harus segera melakukan evaluasi menyeluruh. Perlu ada kebijakan afirmatif bagi mereka yang tidak terjangkau oleh sistem formal. Aparatur desa seharusnya bisa menjadi ujung tombak dalam menjemput bola, melakukan pendataan proaktif, dan menghadirkan keadilan sosial secara nyata — bukan sekadar di atas kertas laporan.

Kasus Nenek Ica bukan satu-satunya. Ia hanyalah contoh dari ribuan, mungkin jutaan orang di pelosok negeri ini yang masih tertinggal, bukan karena mereka malas atau tak mau berubah, tapi karena sistem terlalu lambat untuk melihat mereka.

Negara yang adil bukan hanya negara yang punya program. Negara yang adil adalah negara yang hadir bagi siapa pun, bahkan bagi mereka yang tidak punya suara, seperti Nenek Ica.
Di negeri yang katanya adil dan makmur ini, terkadang keadilan hanya datang jika kisah penderitaan viral lebih dulu. Begitulah yang terjadi pada Nenek Ica, seorang wanita tua yang hidup sebatang kara di Desa Ajallasse, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Bone. Bertahun-tahun ia tinggal di gubuk reot, jauh dari perhatian, jauh dari bantuan, dan lebih jauh lagi dari yang namanya “keadilan sosial.”

Apakah penderitaan seperti ini harus menunggu kamera datang, harus diviralkan lebih dulu agar pemerintah tergerak?
Sudah saatnya pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten berhenti menunggu laporan resmi. Jemput bola, datangi langsung warga rentan yang tak bisa menyuarakan dirinya. Jangan biarkan mereka menunggu bantuan seperti menunggu keajaiban. Karena hari ini kita bicara soal Nenek Ica — tapi siapa tahu besok kita bicara tentang tetangga kita sendiri.

No viral, no justice. Jika keadilan hanya hadir setelah ramai di media, berarti sistemnya sedang sakit. Dan kita semua harus peduli.

  • Bagikan