Momen Milad TATG ke- 17, Tentang Ana’ Madimunri Mappakasiri – siri

  • Bagikan

BONE, RADARBONE.FAJAR.CO.ID - Kesatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia Bone (KEPMI Bone) Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Taro Ada Taro Gau (TATG) Unismuh Makassar suksek menggelar Miladnya yang ke- 17.

Kegiatan Milad dan temu akbar tersebut digelar di gedung Kesenian, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa 27 Desember 2022.

Kegiatan yang dihadiri Sekda Bone diwakili oleh Asisten 1 Pemda Bone Anwar SH MH tersebut berlangsung spektakuler.

Ratusan alumni dan kader TATG tampak terkesima dan antusisas mengikuti tangkaian acara pentas budaya mulai dari Sigajang Laleng Lipa, Mangngosong oleh tujuh orang yang dipimpin oleh perempuan, beberapa tarian, dan pemutaran film - film karya TATG.

Ketua Umum TATG, Haeril menyampaikan terimaksih sebesar-besarnya kepada seluruh stakholder yang mendukung dan memeriahkan kegiatan tersebut.

"Terimakasih banyak kepada pemerintah Bone, DPRD Bone yang memberikan sumbangsih baik moril dan materil hingga kegiatan ini terlaksana," ujarnya.

Salah satu yang membuat para penonton terkesima, yakni penampilan puisi sastra yang menceritakan kondisi generasi muda Bugis.

Berikut isi puisi karya Arham Mao:

Tentang Musibah di Tanahku Bugis
Balada keterasingan manusia-manusia Bugis di tanah Bugis

Tentang ana’ madimunri yang takkalupa

Tentang ana’ madimunri yang mappakasiri’-siri’

Tentang tomatoa yang tak mappaseng lagi

To matoa yang malu majjappi-jappi karena cucu yang semakin arogan dengan baratnya

To matoa yang enggan mewariskan badik kepada cucu yang tak lagi peduli dengan Bugisnya

Tentang gecong, toasi, raja, malela dan sapukala kini dibisukan oleh mereka yang tengah menelan malu cucunya.

Tentang sara’ na siri’ yang bukan lagi terkikis tapi terbuang.

Ini tak se-Bugis yang kudengar, yang kubaca pada kisah kesatria tanah Bugis
Dari cerita nenek moyang saat kecilku, Bugis yang mempesona dengan tarian paddupanya.

Bugis yang menawan dengan ade’ nya, mappatabe’ dan santun
Bugis yang tak sipakatau lagi, tapi sipakatai
Tak sipakainge’ lagi tapi sipakasinge’ deceng mallalloe
Tak lagi sipakalebbi tapi sipakalessi’

Ugi’, Ogi’ na Hugi serumpun yang saling mencampakkan di tanah gemerlap lampu modernitas
Ini tak se-Bugis cerita lama pada lontaraq galigo dan kitab-kitab to riolo
Siri’ na pesse disalah artikan berujung pada kematian yang hina
Kawali na Kahali conga’ massappa bali, seolah dia tenri bali tenri ewa
Tradisi mappakaraja tellu cappa’ diabaikan di tengah Bugis yang sekarat
(Sigajang laleng lipa’ hanya sebatas panggung sandiwara)

Massuro baca dicibir putra putri Bugis madimunrie
Gadis Bugis malu dibalut lipa’ sabbe
rok mini lebih menarik dari baju bodo. Pemuda Bugis malu memakai jas tutup dan songko’ guru

Kata mereka Mattappi’ bessi ketinggalan jaman
Beppa Onde-onde, sumpi tana, kopi’ langi’, doko’-doko’ membuat alergi tatapan mereka
Aksara lontaraq berdebu disudut-sudut kamar mereka, kamus berbahasa asing justru dirawat dgn baik

Kemana Bugisku? 3 x

Elong, Osong dan manca’ terasing
Ma’raga-raga, ma'pinceng, ma'lanca, kini hilang
Bugisku sekarat, Bugisku Nampak pucat di pembaringan
Kita lupa tentang kebesaran Bugis
I la galigo tak semenarik Mahabarata.

Kisah La sinrang, Arung palakka,Karaeng Siang, La maddukelleng, La Tunampare, La Tenribali, Puang Lompo, La Peso’, karaeng bodo-bodoe, terkalahkan kisah pendekar-pendekar jawa, yunani, Romawi.

Dari tanah Alekale Riaja Bulu dari ata na puang kupandangi Bugisku yang sekarat
Panrita kitta’ yang tak lagi mampu menyatukan perbedaan
Sianre bale bisa jadi terulang lagi.

Cerita batu tujue, benteng lompoe, tampung pekke’e, batu goroe, tanah bangkalae, tak dikenal,
Tegai, kegai, digai Ugi’ku, ogi’ku, hugi’ku ???

Aku sendiri masih Bugis, mengenang Bugis di lintas peradaban buta.

Aku masih sangat bangga di panggil Bugis, meski sedikit menelan malu
Dan aku tidak sendiri membanggakan Bugis, masih ada puluhan dan ratusan darah Bugis di belahan tanah merah putih yang setia dengan Bugis.

Bugis kami yang massala mate.

  • Bagikan