MAY DAY, REFLEKSI DALAM MENCAPAI INDUSTRIAL PEACE

  • Bagikan

Oleh : Mursalim, S.E

(ASN Dinas Ketenagakerjaan Kab. Bone)

Pekerja atau buruh di seluruh dunia saat ini memperingati Hari Buruh yang ditetapkan setiap tanggal 1 Mei. Momentum ini kita kenal dengan sebutan May Day.

Hari buruh lahir sebagai bagian rentetan perjuangan kaum buruh atau kelas pekerja untuk mendapatkan kendali ekonomi khususnya dalam memperjuangkan hak-hak dalam hubungan industrial. Hal ini dikarenakan perkembangan kekuatan kapitalisme industri yang sangat meningkat di awal abad ke 19. Dimana terjadi perubahan di negara-negara eropa dan Amerika Serikat dengan adanya pengetatan disiplin dan intensitas jam kerja, upah murah serta buruknya kondisi kerja di lingkungan pabrik yang melahirkan perlawanan dari kaum buruh terhadap sistem kapitalisme.

Pemogokan pertama kaum buruh terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1806 oleh pekerja di Cordwainers. Pemogokan ini menguak fakta bahwa kaum buruh pada masa tersebut harus bekerja 19 sampai 20 jam setiap harinya dimana sistem yang berlaku adalah bekerja dari “matahari terbit hingga terbenam” yang waktunya bisa mencapai 19 jam dalam sehari.

Sejak itu, perjuangan untuk menuntut dikuranginya jam kerja menjadi isu yang diperjuangkan oleh kaum buruh di Amerika Serikat. Isu perjuangan ini terus berlanjut sampai tahun 1886, dimana sekitar 400.000 buruh mengadakan demonstrasi besar-besaran dalam menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam dalam sehari.

Aksi ini membuat polisi menembaki para demonstran yang mengakibatkan ratusan buruh meninggal dunia. Demonstrasi ini adalah puncak pemogokan buruh yang terjadi sebelumnya untuk menuntut perlakuan yang adil dari para memilik modal khususnya pengurangan jam kerja. Peristiwa tahun 1886 tersebut kemudian dikenal dengan kerusuhan Haymarket di Chicago, Amerika Serikat.

Lahirnya May Day juga sekaligus untuk mengenang peristiwa kelam dalam sejarah kaum buruh yang terjadi dalam kerusuhan Haymarket di Chicag pada tahun 1886 tersebut.

Sebelum terjadi peristiwa Haymarket di Chicago, organisasi buruh terbesar di Amerika (Knights of Labour) mendukung gerakan para pekerja untuk mogok dan berdemontrasi besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya bentrokan hebat.

Hingga pada juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris (Prancis) menetapkan peristiwa di Amerika Serikat pada tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia melalui resolusi “Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Prancis.”

Resolusi ini mendapat sambutan hangat dari berbagai negara dan sejak itu, setiap tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh di berbagai negara yang diistilahkan sebagai May Day.

Di Indonesia, peringatan Hari Buruh diperbolehkan namun sempat dilarang yang akhirnya menjadi hari libur nasional, yang dinikmati semua lapisan masyarakat sebagai bagian perjuangan kaum buruh.

Hal ini berawal pada masa pemerintahan orde lama, dimana Hari Buruh sudah mulai dirayakan oleh buruh di Indonesia.

Presiden Soekarno pada momen itu sempat menyampaikan pesan kepada para buruh untuk mempertahankan politieke toestand, yang mana adalah sebuah keadaan politik yang memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat, bebas berkumpul, bebas mengkritik dan bebas berpendapat.

Politieke toestand ini memberikan ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih kuat lagi. Pada masa orde baru penetapan Hari Buruh Internasional pada 1 mei sempat ditiadakan karena Hari Buruh dianggap identik dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang di Indonesia.

Barulah pada masa reformasi, pergerakan buruh semakin dikukuhkan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang dimaksudkan untuk mengatur pelaksanaan dan perlindungan hak berserikat tersebut, supaya pada waktu yang sama dapat diciptakan hubungan industrial yang aman dan harmonis, dinamis dan berkelanjutan, serta seimbang dan berkeadilan yang dapat mewujudkan industrial peace.Tidak berhenti disitu, perjuangan buruh kemudian dilanjutkan melalui hegemoni pada masa pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dimana pada tahun 2013, pemerintah menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional untuk memperingati Hari Buruh Internasional yang pelaksanaannya dimulai tahun 2014.

Hari buruh terus diperingati di Indonesia sampai saat ini. Sepuluh tahun sejak ditetapkan sebagai hari libur nasional, Peringatan May Day untuk tahun 2023 kembali dirayakan dengan mengusung tema “Merajut Kebersamaan antara Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah di Hari yang Fitri."

Momentum May Day yang berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1444 H, menginisiasi tema ini untuk terus mendorong kebersamaan pelaku hubungan industrial di Indonesia. Tajuk May Day tidak hanya mengusung kepentingan kaum buruh, tetapi turut melibatkan unsur Pengusaha dan Pemerintah karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja dan kenyamanan berusaha yang ditandai dengan hubungan industrial yang damai atau industrial peace.

Industrial peace merupakan kondisi di mana buruh, pengusaha, dan pemerintah sebagai regulator dapat berjalan bergandengan yang diharapkan dapat terwujud harmoni dan kesetaraan hak dan kewajiban, mengingat buruh juga menjadi salah satu kekuatan utama dalam menentukan wajah masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Menjadi tantangan bersama dalam mewujudkan Industrial peace mengingat gerakan buruh terus berlanjut dalam mengawal regulasi ketenagakerjaan yang dinamis. Kelompok buruh menjadi social control yang dianggap efektif dalam memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan pekerja khususnya di Indonesia.

Industrial peace memang sangat diperlukan untuk terus menciptakan situasi yang kondusif dan harmonis, sehingga dapat mewujudkan ekosistem ketenagakerjaan yang fleksibel serta berdampak positif dalam peningkatan penciptaan lapangan pekerjaan, dan mendorong percepatan investasi.

Ekosistem ketenagakerjaan yang baik dapat dilihat dalam konteks hubungan indutrial yang harmonis, dinamis namun tetap berkeadilan.

Beberapa regulasi klaster ketenagakerjaan menjadi bumbu hubungan industrial yang masih bergeliat sampai saat ini. Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2020 menjadi tantangan yang terus bergulir dan mendapat perhatian lebih oleh kaum buruh yang berujung dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil pada November 2021.

Majelis Hakim Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2021, yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan memberikan kesempatan dalam jangka dua (2) tahun untuk diperbaiki.

Pemerintah kemudian ”memaksakan” Undang-Undang Cipta Kerja dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja) karena dinilai dapat mempengaruhi perilaku dunia usaha dalam dan luar negeri yang membutuhkan kepastian hukum.

Hal ini dilakukan dalam mengantisipasi perkembangan dinamika perekonomian global yang dapat berdampak signifikan kepada perekonomian nasional dan penciptaan lapangan pekerjaan. Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja selanjutnya disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-Undang dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Polemik lain selain Undang-Undang Cipta Kerja adalah terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 di awal tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), juga mendapat penolakan keras oleh kaum buruh yang dianggap sangat merugikan mengingat akan memperlambat pencairan Jaminan Hari Tua bagi kaum pekerja yang semula pada saat berhenti bekerja menjadi pada saat memasuki usia pensiun.

Aturan tersebut dianggap menjadi “Permen(naker) pahit” oleh kaum buruh yang akhirnya dikembalikan sesuai dengan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 sebelum direvisi menjadi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang dinilai tetap berpihak kepada kaum pekerja.

Selain berbagai regulasi klaster ketenagakerjaan yang mengatur berbagai hak dan kewajiban dalam hubungan industrial yang dapat menentukan arah hubungan industrial yang damai, sistem pengupahan dapat menjadi acuan utama dalam mengukur tingkat kesejahteraan pekerja. Hal paling dasar yang menjadi parameter adalah pelaksanaan Upah Minimum.

Penetapan Upah Minimum untuk tahun 2023 menjadi gejolak bagi unsur tripartit (pekerja, pengusaha dan pemerintah). Hal ini dipicu dengan hadirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

Permenaker ini dianggap keliru karena sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang harusnya menjadi acuan dalam penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang terpinggirkan dalam Penetapan UMP “khusus” untuk tahun 2023.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang selama ini menjadi reperesentasi Organisasi Pengusaha dalam konteks hubungan industrial, menolak keras Permenaker 18 Tahun 2022 karena dianggap bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021.

APINDO kemudian mengeluarkan sikap penolakan mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XIX/2021 yang dalam putusannya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Permenaker 18 Tahun 2022 tersebut jelas dinggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Berbagai refleksi ketenagakerjaan ini telah mewarnai dinamika hubungan industrial beberapa tahun terakhir. Sehingga momentum Perayaan May Day Tahun 2023 memang sangat diperlukan kebersamaan antara Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah sesuai tema May Day 2023 “Merajut Kebersamaan antara Pekerja, Pengusaha, dan Pemerintah di Hari yang Fitri" untuk dapat mencapai Industrial peace. Semangat tema May Day ini juga telah didukung kebijakan pemerintah dengan memastikan kesejahteraan pekerja dan juga keberlangsungan usaha setelah pandemi Covid-19 yang sempat menggoyang ekosistem hubungan industrial.

Agar kaum pekerja atau buruh tidak terempas lebih jauh, sudah seharusnya kebijakan-kebijakan ditandai dengan ketegasan khususnya dalam mengawal pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan terpenuhinya kebutuhan dan kesejahteraan kaum buruh dan keluarganya untuk penopang ketimpangan kekuatan antara pengusaha dan pekerja dengan penekanan-penekanan kebijakan yang adil.

Salah satu penekanan kebijkan adalah Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan tahun 2023 agar tetap dibayarkan penuh dan tepat waktu agar upaya untuk mencapai Industrial peace benar-benar dapat dicapai di hari yang fitri, sekaligus menjadi kado bagi kaum buruh dalam menyambut Hari Buruh Tahun 2023. Selamat Hari Buruh Tahun 2023 untuk Pekerja Indonesia.

  • Bagikan