SEBUTAN BANGKRUT MEMBUAT SULSEL GADUH

  • Bagikan

Oleh Yarifai Mappeaty

Bukan mengada-ada, tapi ini realitas. Dalam dua pekan terakhir, Sulsel gaduh segaduh-gaduhnya hanya oleh kata bangkrut. Mengapa bisa? Padahal tidak ada yang istimewa pada kata itu.

Tidak mengandung SARA, tak bermakna intoleran, pun tak memiliki potensi menjadi komoditi bagi mereka yang suka beternak isu politik identitas.

Bangkrut adalah kosa kata milik dunia usaha. Modal habis, bangkrut. Hutang lebih besar dari pada asset, bangkrut. Namun, ketika digunakan pada konteks politik anggaran, tentu menjadi tidak lazim. Apa lagi jika diksi itu disampaikan di hadapan forum resmi oleh seorang Pejabat Gubernur, yang nota bene adalah pengelola anggaran, tentu mengusik perhatian publik.

“Pemprov Sulsel bangkrut, apa?!” Kaget, pasti. Maka, atas nama transparansi dan akuntabilitas, publik kasak-kusuk mencari tahu apa sebenarnya terjadi. Pada situasi ini, mau tak mau, pro dan kontra menjadi tak terelakkan memproduksi kegaduhan. Celakanya, selama berhari-hari, waktu dan energi dihabiskan hanya untuk membahas itu.

Memang, masalahnya apa? Bahtiar Baharuddin, Pejabat Gubernur Sulsel, dihadapan Rapat Paripurna DPRD Sulsel beberapa waktu lalu, menyampaikan bahwa Pemprov Sulsel mengalami kebangkrutan, lantaran defisit anggaran mencapai 1,5 trilyun.

Masalahnya demikian jelas. Sulsel tidak bangkrut seperti yang diributkan. Tetapi hanya mengalami defisit anggaran pada APBD 2023. Dalam kasus ini, tanpa bermaksud membela Gubernur Sudirman, namun sebutan bangkrut itu, rasa-rasanya memang berlebihan kalau tak disebut tendensius.

Perlu dimengerti bahwa isu semacam itu sangat sensitif. Maklum, Sulsel juga sudah memasuki tahun politik.

Lantas, untuk meluruskan pernyataan Bahtiar yang menyebut Pepmprov Sulsel bangkrut, Kementerian Keuangan pun merasa perlu turun tangan.

“Sebenarnya, nggak seperti itu,” kata Lucky Alfirman, Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu.

Adapun risiko jika APBD mengalami defisit anggaran, sudah diatur. Solusinya menurut Lucky, Pemerintah Daerah dapat memperoleh pembiayaan, antara lain dari sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) tahun sebelumnya (ekonomi.bisnis.com, 2023).

Demikian pula dengan Yustinus Prastowo, Staf Ahli Bidang Komunikasi Strategis Kemenkeu, menyatakan bahwa sebutan bangkrut kurang tepat menggambarkan kondisi keuangan yang dialami oleh Pemprov Sulsel saat ini.

Menurutnya, defisit terjadi karena Pemprov Sulsel mengalami kesulitan likuiditas untuk melunasi hutang jangka pendek yang jatuh tempo dan pembayaran hutang jangka panjang (cnbcindonesia.com, 2023).

Selain itu, defisit anggaran juga dapat terjadi karena memang APBD didisain defisit, seperti dikemukakan oleh Sandy Firdaus, Direktur Pajak dan Restribusi Daerah Kemenkeu.

Menurut Sandy, bangkrut dan defisit itu berbeda. Jika pendapatan lebih kecil dari pada belanja, itu defisit, seperti dialami Pemprov Sulsel (ekonomi.bisnis.com, 2023).

Lagi pula, seperti kata Sandy, Pemda di Indonesia pada umumnya menganut mazhab defisit anggaran, sehingga APBD memang didisain untuk defisit.

Tetapi terlepas dari pada itu, bagaimanapun harus diakui bahwa defisit anggaran yang dialami Pemprov Sulsel, menggambarkan pengelolaan anggaran di masa Gubernur Sudirman, memang bermasalah.

Hanya saja, tidak bijak jika masalah itu secara serta-merta ditimpakan sepenuhnya kepada Sudirman. Sebab masalah yang terjadi sebagian besar diwarisi dari gubernur sebelumnya, yang ia gantikan di tengah jalan.

Apa buktinya? Menurut Sandy Firdaus, bahwa pada tahun anggaran 2020, ada pinjaman yang menyebabkan APBD Sulsel mengalami defisit besar (ekonomi.bisnis.com, 2023).

Tampaknya, pun boleh jadi defisit itu menyebabkan dana bagi hasil dari provinsi ke kabupaten/kota yang kerap dipersoalkan, belum dibayarkan, dan terakumulasi selama beberapa tahun ini pada era Sudirman.

Sebagai Pejabat Gubernur, sebenarnya, tugas Bahtiar yang paling pokok adalah menyelesaikan bengkalai itu. Tidak sulit, kok. Guidance-nya sudah ada. Selain dapat menggunakan Silpa, Kemenkeu juga telah menyarankan agar dilakukan refocusing belanja, negosiasi hutang jangka pendek dan restrukturisasi hutang jangka panjang.

Konkritnya, yang dimaksud refocusing adalah kurangi belanja yang tidak penting untuk membayar defisit tersebut.

Memasuki tahun politik, semua hal berpotensi dipolitisasi. Dan, isu-isu politisasi bakal menjadi hidangan sarapan pagi setiap hari. [ym]

Makassar, 20 Oktober 2023

  • Bagikan