HJB ke 694, Momen Kembalinya Bissu Setelah Dua Tahun Vakum

  • Bagikan

RADARBONE.FAJAR.CO.ID--Ada pemandangan menarik saat puncak Hari Jadi Bone (HJB) ke 694 di rumah Jabatan Bupati Bone, Jalan Petta Ponggawae, Kelurahan Watampone, Sabtu 20 April 2024.

Pertama kalinya sejak tidak dilibatkan di ritual Mattompang Arajang tahun 2022 lalu.

Kini pada ritual Mattompang Arajang 20 April 2024, para Bissu kembali memegang peran penting. Mulai dari menyiapkan benda pusaka kerajaan dari Museum Arajang untuk kemudian dibawa ke panggung utama HJB untuk dibersihkan.

Sampai, ritual Tari Sere Bissu Maggiri. Tarian tersebut diketahui, merupakan sebuah hasil karya seni pada masa lampau yang menjadi salah satu warisan budaya. Keberadaan tari Sere Bissu Maggiri di daerah Bugis Kabupaten Bone diperkirakan sudah ada sejak zaman pemerintahan raja Bone Ke 1, yang bergelar To Manurungeng Ri Matajang.

Momen kembalinya para Bissu ini juga menarik perhatian tamu undangan. "Wah dilibatkanni bissue," teriak Andi Kusayyeng mantan Camat Tellu Siattingge.

Bissu merupakan peninggalan pra-Islam kebudayaan Bugis di wilayah Sulawesi selatan.

Peran Bissu dalam kebudayaan Bugis, tidak bisa dipandang mata hingga saat ini. Bissu diyakini sebagai penjaga arajang, yakni benda pusaka keramat seperti tombak, peti, keris, dan sejenisnya. Dan secara definitif mereka adalah pendita agama Bugis kuno yang telah eksis sebelum masuknya Islam.

Dalam catatan La Galigo, Bissu adalah kelompok pendeta Bugis yang hingga saat ini masih mempraktikkan ritual mistis dan perdukunan.

Para Bissu juga dianggap oleh masyarakat sebagai “orang sakti” karena tidak mempan senjata tajam dan mampu berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur atau roh nenek moyang.

Cerita mengenai Bissu dan sejarahnya dimuat dalam Risalah Bugis kuno I La Galigo. Menurut cerita kemunculan atau kehadiran Bissu pertama bersamaan dengan diturunkannya manusia pertama ke dunia (Sulawesi) dari langit yang bernama Batara Guru dan We Nyilik Timo sebagai permaisurinya yang dimunculkan dari dunia bawah. Dua Bissu diturunkan oleh dewata untuk mendampingi Batara Guru dan juga menciptakan bahasa, kebudayaan, adat, dan hal-hal lainnya yang dibutuhkan oleh dunia. Cerita di dalam La Galigo menggambarkan Sawerigading dan Bissu sebagai penyempurna keberadaan tokoh-tokoh utamanya (kitab La Galigo).

Menurut catatan dan Puang Matoa, seseorang yang akan menjadi Bissu biasanya mendapatkan tanda dari mimpi. Tanda berupa mimpi tersebut ialah “panggilan” dari yang maha kuasa. Apabila tidak “dipilih” oleh yang maha kuasa, maka seseorang tidak akan pernah menjadi Bissu.

Setelah itu, apabila dia serius atau benar-benar ingin menjadi Bissu maka proses selanjutnya ialah masa “magang” atau belajar. Dia lalu belajar dan dibimbing oleh seorang Bissu pembimbing di rumah adat. Setelah masa bimbingan selesai, mereka akan diuji selama beberapa hari (irebba).

Sebelum itu, para calon Bissu diwajibkan berpuasa dan bernazar untuk menjalani proses irebba. Apabila mereka lulus ujian tersebut maka akan diakhiri dengan upacara pelantikan seorang Bissu baru.

Dilihat perawakannya, Bissu adalah laki-laki, namun memiliki wajah yang halus dan terawat, dan mengenakan pakaian perempuan. Sebagaimana umumnya perempuan, mereka mengenakan sarung bugis dalam kesehariannya.

Namun demikian,  dari hasil penelitian Komnas HAM, mereka tidak selalu mengenakan pakaian perempuan, dalam keseharian terkadang mereka mengenakan pakaian kombinasi laki-laki dan perempuan.

Terkait HJB, peran Bissu dinilai sangat vital. Budayawan Bone Andi Singkeru Rukka menegaskan, ada ritual adat yang sakral dan harus dilakukan Bissu, tidak bisa digantikan.

"Mattompang arajang adalah murni tradisi atau attauriolong. Di tradisi itu Bissulah yang berperan utama mattompang arajang dan bukan yang lain," kata Andi Singkeru Rukka.

Ia mengatakan, ritual membersihkan benda pusaka atau mattompang arajang di zaman Kerajaan Bone dilakukan dengan waktu yang tidak tertib. Tapi ritual itu pasti dilakukan oleh Bissu.

"HJB tradisi, dan pemeran utamanya (saat ritual mattompang arajang) adalah Bissu. Makanya Bissu harus diibatkan dalam seremoni HJB," sebutnya.

Dijelaskan, mattompang bukan bentuk peribadatan yang memiliki aspek spiritual. Matompang merupakan tradisi dan dilaksanakan sebagai seremoni.

"Kalau dalam mattompang arajang namanya juga benda arajang sejak turun temurun itu Bissu selalu dihadirkan untuk dilengkapi kegiatan-kegiatan ritual sejak dulu. Bissu adalah manifestasi kebudayaan," jelasnya

Kadis Kebudayaan Bone, Andi Murni mengatakan, pihaknya memutuskan melibatkan kembali para Bissu sebagai bentuk pelestarian budaya," katanya.

Ia mengaku, para Bissu dilibatkan mulai dari ritual massimang mallekke wae, prosesi pra mattompang arajang hingga mattompang arajang.

Terpisah, Puang Matoa Bissu Syamsul Bahri mengaku bersyukur bisa kembali terlibat aktif di momen puncak HJB.

"Alhamdulillah, kami sudah dilibatkan. Jangan melupakan sejarah, para bissu berperan penting. Bissu mesti terlibat dalam ritual Matteddu Arajang, hingga Mattompang Arajang," tutupnya.

*

  • Bagikan