Budaya Mappaddekko di Lamuru, Kadis Asman: Wajib Dilestarikan

  • Bagikan

BONE, RADARBONE.FAJAR.CO.ID--Budaya Mappaddekko atau Mappadendang merupakan tradisi masyarakat Bugis Bone sebagai wujud syukur atas hasil panen.

Mappaddekko atau bermain musik lesung masih dilestarikan sejumlah desa di Bone. Salah satunya di Desa Mattampawalie Kecamatan Lamuru.

Umumnya, Mappaddekko digelar sekali setahun di setiap desa, pada bulan Oktober hingga Desember, setelah panen raya di akhir musim kemarau menjelang masuknya musim penghujan.

Secara harfiah, Mappaddekko berarti membuat bunyi atau irama dengan menggunakan lesung atau palungeng yang ditumbuk 'alu' dari kayu sepanjang dua meter.

Biasanya dimainkan oleh 'penumbuk lesung' sejumlah lima hingga tujuh orang secara bersama-sama. Selain dari warga setempat, kelompok penumbuk lesung juga berasal dari desa tetangga, sehingga tradisi Mappaddekko terbilang meriah dan ramai di tiap gelarannya.

Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Bone, H Andi Asman Sulaiman turut larut dalam acara Mappaddekko di Desa Mattampawalie.

Kakak kandung Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman itu ikut memainkan lesung atau palungeng yang merupakan satu wadah yang terbuat dari pohon gelondongan sepanjang lima meter yang tengahnya dilubangi untuk menumbuk atau menghancurkan sesuatu, misalnya padi, beras, gula, dan lain-lain.

Andi Asman menegaskan, budaya pesta panen Mappaddekko patut dilestarikan.

"Tradisi seperti ini yang harus dilestarikan. Jangan sampai punah tergerus oleh budaya modern. Ini menjadi bentuk kesyukuran masyarakat atas hasil panen yang melimpah.

Mappaddekko bagi Andi Asman menyimpan filosofi yang sangat tinggi dan merupakan sarana leluhur untuk memperkuat persatuan dan kesatuan.

"Budaya Mappadekko tetap kita lestarikan dari zaman ke zaman sebab ini sangat bermakna daripada budaya lokal Mappaddekko di Desa Mattampawalie Kec.Lamuru," tukasnya.

Dahulu, kata dia, jika ada orang menabuh lesung, semua warga tetangga langsung berbondong-bondong menuju sumber suara tersebut dan mereka saling bergantian untuk menabuh lesung dan yang lainnya mengerjakan hajatan warga desa.

Kades Mattampalie mengatakan, jika masyarakat menumbuk padi mereka saling membantu dan sesekali mengatur irama ketukan alu ke lesung sehingga tercipta irama musik yang indah dan enak didengar.

"Dari sinilah budaya Mappaddekko tercipta, kalau dahulu gunanya untuk menumbuk padi di lesung, namun saat ini biasanya acara Mappaddekko dilakukan tanpa menumbuk padi, hanya untuk menciptakan irama musiknya saja," kata katanya.

Secara bergantian kelompok penumbuk lesung menampilkan aksinya, sesekali warga bersorak menyaksikan penumbuk lesung atraksi uniknya.

Turut hadir dalam acara itu, sejumlah tokoh masyarakat, aparat desa, karang taruna Beringin Muda ( Panitia ) dan Kepala BPP Lamuru.

*

  • Bagikan